Kalimat Syahadat
Tak asing bagi kita akan
kalimat syahadat "laa
ilaha illah" ini. Karena kita senantiasa membacanya dalam
sholat, tepatnya ketika tasyahud. "Laa
ilaha illah" merupakan salah satu dari rangkaian dua kalimat
syahadat yaitu "syahaadatu
an laa ilaha illallah" dan "syahaadatu anna muhammadar rasulullah"
yang apabila seseorang mengikrarkannya, maka seseorang yang kafir menjadi muslim. Syahadat ini
disebut Syahadat Tauhid,
karena mengandung pentauhidan Allah Jalla wa ‘Ala dalam ibadah.
Karena pentingnya syahadat
ini, sehingga ia menjadi bagian terpenting dari rukun islam, yaitu rukun islam yang pertama. Hal
ini berdasarkan hadits:
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya: ”Islam dibangun atas lima perkara; (1) Syahadat laa ilaha illallah dan Muhammadur rasulullah, (2) Mendirikan sholat, (3) Menunaikan Zakat, (4) Berhaji ke Baitullah, dan (5) Puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu, sudah
selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami kandungan makna, rukun, syarat
dan konsekuensi (tuntutan) syahadat ini.
Makna
Kalimat Syahadat
Makna kalimat syahadat adalah
"meyakini dan mengikrarkan" bahwa tiada sesuatupun yang berhak diibadahi kecuali
Allah Ta’ala dengan tetap teguh di dalamnya dan melaksanakan tuntutannya.
Sedangkan makna Laa ilaha illallah
adalah Laa ma’buda bi
haqqin illallah
yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah.
Berikut ini akan disebutkan
makna-makna yang kurang tepat ketika menafsirkan Laa ilaha illallah :
- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa ma’buda illallah, maknanya Tiada sesembahan selain Allah. Ini makna yang berkonsekuensi batil, karena mengandung makna, bahwa setiap sesembahan, baik yang haq maupun yang batil adalah Allah.
- Laa ilaha illallah
ditafsirkan dengan Laa
kholiqo illallah, yang bermakna Tiada pencipta selain Allah.
Ini makna yang kurang pas, karena hanya mengandung sebagian dari kandungan makna
Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah sementara kandungan makna kalimat Laa
ilaha illallah ini adalah tauhid ibadah yang mencakup tauhid
rububiyah. Andaikan benar makna Laa ilaha illallah
ditafsirkan dengan Laa
kholiqo illallah (Tiada pencipta selain Allah), maka tentulah
Iblis laknatullah ‘alaihi dan orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam termasuk
muslim, karena mereka mengakui bahwa Allah Sang Pencipta, Penguasa, Pemilik dan
Pemelihara alam jagad raya. Allah ta’ala mengabadikan perkataan Iblis dalam
Al-Quran yang artinya :
“....(Iblis) menjawab,”Aku lebih baik daripada dia(Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf : 12)
Dan Allah Ta’ala menyatakan keyakinan orang
kafir di masa Nabi kita dengan firman-Nya yang artinya:
“Katakanlah (Muhammad kepada orang kafir), milik siapakah bumi, dan apa yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui? (84)
Mereka akan menjawab, ”Milik Allah.” Katakanlah, ”Maka apakah kamu tidak ingat? (85)
Katakanlah, ”Siapakah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara) langit yang tujuh dan yang memiliki 'Arsy yang agung?” (86)
Pasti mereka menjawab, ”Allah”. Katakanlah (kepada mereka): mengapa kamu tidak bertaqwa?” (QS. Al-Mu’minun : 84-87)
“Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja? Sungguh ini sesuatu yang aneh.” (QS. Shad : 5)
Laa ilaha illallah
ditafsirkan dengan Laa
hakima illallah yaitu Tiada hakim (Pembuat hukum) kecuali
Allah. Makna ini pun kurang tepat dan tidak sempurna, karena masih saja
mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid
rububiyah. Jelasnya, jika seseorang mentauhidkan Allah dalam hukum, namun
bersamaan dengan itu dia beribadah kepada selain Allah, maka tetap saja dia
belum merealisasikan tuntutan kalimat tauhid ini.
Makna yang benar dari tafsir Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Hal ini berdasarkan Al-Quran surah Shad ayat 5 dan hadits riwayat Ahmad di atas, di mana orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari dakwah beliau untuk mentauhidkan Allah (menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang disembah) dengan ucapan mereka; “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja? Sungguh ini sesuatu yang aneh.”
Rukun
Syahadat Laa ilaha illallah
Laa ilaha illallah memiliki
2 rukun yaitu An-Nafyu
(penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat
(penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid Laa ilaha dan illallah.
Rinciannya sebagai berikut :
Laa ilaha = An-Nafyu, yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah serta beramal dengan landasan ini.
Banyak ayat-ayat Al-Quran
yang mencerminkan 2 rukun ini. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala yang
artinya :
“...Maka barangsiapa yang mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah) yang tidak akan putus...” (QS.Al-Baqarah : 256)
"Dan (ingatlah) ketika ibrahim berkata pada ayah dan kaumnya, "sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah" (QS. Az-Zukhruf : 26)
Syarat
Syahadat Laa ilaha illallah
Syarat-syarat ini harus
dipenuhi oleh orang yang melafalkan kalimat tauhid ini agar bermanfaat baginya,
yaitu sebagai berikut :
- Berilmu dan memahami
kandungan makna dan rukun syahadat ini sehingga hilang kebodohan terhadap
kandungan makna dan rukun kalimat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang
artinya :
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan ia mengetahui (kandungan makna) ‘laa ilaha illallah’ (bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah), pasti masuk surga (HR. Muslim)
- Meyakini segala yang
ditunjukkan oleh kalimat syahadat tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya :
”Sesungguhnya orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu...”. (QS. Al-Hujurat : 15)
- Menerima konsekuensi
(tuntutan) kalimat ini berupa beribadah hanya kepada Allah semata dan
meninggalkan beribadah kepada selain-Nya tanpa adanya penolakan yang didasari
keengganan, pembangkangan, dan kesombongan. Allah Ta’ala berfirman yang
artinya :
”Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) apabila diucapkan kepada mereka “laa ilaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) maka merekapun menyombongkan diri (35)
Dan mereka berkata,“Apakah kita akan meninggalkan sesembahan-sesembahan kita karena penyair yang gila?” (QS. Ash-Shaffat : 35-36)
- Tunduk dan berserah diri
terhadap segala tuntutan kalimat syahadat tanpa mengabaikannya. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya :
”Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dalam keadaan berbuat kebajikan, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS. Luqman : 22)
- Jujur dalam mengucapkan
kalimat ini dengan disertai hati yang membenarkannya. Jika seseorang
mengucapkan kalimat ini namun hatinya mengingkari dan mendustainya, maka dia
orang munafik tulen. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
”Dan diantara manusia ada yang mengucapkan,”Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka tidak beriman (8)
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sementara mereka tidak meyadari (9)
Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka. Dan mereka mendapat azab yang pedih karena kedustaan yang mereka lakukan (10) (QS. Al-Baqarah : 8-10)
- Ikhlas dalam
mengucapkannya dan memurnikan amal dari segala kotoran syirik, bukan karena
riya, atau untuk ketenaran, maupun tujuan-tujuan duniawi. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda
yang artinya :
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan ”laa ilaha illallah” dengan tujuan mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Mencintai kalimat ini
dan segala tuntutannya serta mencintai orang yang melaksanakan tuntutannya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
”Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah...” (QS. Al-Baqarah : 165).
Orang – orang yang benar dalam imannya mencintai Allah dengan cinta yang tulus dan murni. Adapun para pelaku kesyirikan memiliki cinta ganda. Mereka mencintai Allah sekaligus mencintai tandingan-Nya.
Konsekuensi
Syahadat Laa ilaha illallah
Konsekuensi syahadat ini adalah meninggalkan peribadatan dan penyembahan
kepada selain Allah Ta’ala.
Dewasa ini, banyak orang
yang megucapkan kalimat ini namun menyalahi tuntutannya. Mereka menujukan
ibadah (beribadah) atau memberikan persembahan kepada makhluk, seperti
menyembelih dan bernadzar untuk kuburan dan penghuninya, meletakkan sesajian
sebagai tumbal di tempat-tempat keramat dan angker, di sekitar pepohonan, dan
bebatuan, serta bentuk-bentuk persembahan lainnya.
Mereka menyakini tauhid
sebagai hal yang baru dan mereka juga mencela orang yang memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata. Mereka juga mengingkari serta memusuhi orang-orang
yang mendakwahi mereka, padahal ajakan dan dakwah yang dilakukan orang-orang
tersebut adalah sebagai wujud kecintaan, perhatian dan kepedulian serta
keprihatinan mereka terhadap saudara seagama mereka.
Mereka tidak ingin sesuatu
yang buruk menimpa saudaranya disebabkan ketidaktahuan saudaranya tersebut
terhadap sesuatu yang berbahaya bagi mereka. Untuk itu, dengan didasari
kecintaan mereka bangkit mengingatkan saudara-saudara seagama mereka dari
bahaya-bahaya yang bisa menimpa.
Sikap mereka ini merupakan bentuk implementasi
dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu
‘alahi wa sallam yang maknanya :
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan akhirnya, semoga Allah
ta’ala menjadikan kita umat yang bersatu dan bersaudara di atas agama tauhid
ini.
Penulis: Abdullah
(Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)
Sahnya iman seseorang adalah dengan menyebutkan syahadat.
Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan
syahadat. Syahadat membedakan manusia kepada muslim dan kafir.
Pada dasarnya setiap manusia telah bersyahadat Rububiyah di alam arwah,
tetapi ini saja belum cukup. Untuk menjadi muslim, mereka harus
bersyahadah Uluhiyah dan syahadah Risalah di dunia.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal saat mengutusnya ke penduduk Yaman, “Kamu akan datang kepada kaum ahli kitab. Jika kamu telah sampai kepada mereka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, hati-hatilah kamu terhadap kemuliaan harta mereka dan waspadalah terhadap doanya orang yang dizalimi, sebab antaranya dan Allah tidak ada dinding pembatas.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, terperiharalah darah dan harta benda mereka kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik adalah yang memberikan komentar walaupun hanya sedikit saja, semoga Allah menjadikan engkau orang-orang yang beruntung. Amiin :)